Selasa, 02 Desember 2014

HIV-AIDS

BAB II
PEMBAHASAN

A. DEFENISI
Acquired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan kumpulan berbagai gejala penyakit akibat turunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi virus HIV tersebut. Infeksi virus HIV secara perlahan menyebabkan tubuh kehilangan kekebalannya oleh karenanya berbagai penyakit akan mudah masuk ke dalam tubuh. Akibatnya penyakit-penyakit yang tadinya tidak berbahaya akan menjadi bahaya bagi tubuh.
Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah nama untuk virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia. Di dalam tubuh manusia virus ini terus bertambah banyak hingga menyebabkan sistem kekebalan tubuh tidak sanggup lagi melawan virus yang masuk.
HIV menghancurkan sel-sel CD4 - jenis dari sel darah putih yang memainkan peran penting dalam membantu tubuh melawan penyakit. Sistem kekebalan tubuh melemah karena sel CD4 mati,dapat memiliki infeksi HIV selama bertahun-tahun sebelum berkembang menjadi penyakit AIDS.Orang yang terinfeksi dengan peningkatan gejala HIV menjadi penyakit AIDS ketika jumlah sel CD4 mereka turun di bawah 200.
Kasus AIDS pertama sekali dilaporkan di Los Angeles oleh Gottleib dan kawan-kawan pada tanggal 5 juni 1981, walaupun sudah ditemukan dirumah sakit-rumah sakit di Negara Afrika Sub-Sahara pada akhir tahun 1970-an, sedangkan kasus AIDS pertama kali di Indonesia ditemukan di Bali pada tahun 1987 (dilaporkan pada jaringan Epidemiologi Nasional tahun 1993). Setelah ditemukan kasus AIDS pertama kali di Los Angeles terus dilakukan pengamatan terhadap kasus yang ada dengan melihat peningkatan kasus infaksi yang tidak azim berupa infeksi oportunistik yang merusak system kekebalan tubuh, terutama pada para homoseks.
Semantara itu HIV ditemukan oleh Dr.lun Montagnier dkk dari institute Paseur Parancis dan mereka berhasil menisolasi virus penyebab AIDS. Kemudian pada bulan juli 1994 Dr. Robert Galoo dari lembaga kanker Nasional Amerika Serikat menyatakan bahwa dia menemukan virus baru dari seorang pasien penderita AIDS yang diberi nama HTLV-III dan virus ini terus berkembang dengan nama HIV. Kemudian ilmuan lainnya, J.Levy juga menemukan virus penyebab AIDS yang ia namakan AIDS related virus yang disingkat ARV. Akhir Mei 1986 Komisi Taksonomi Internasional sepakat menyebut nama virus ini AIDS ini dengan HIV. Istilah HIV/AIDS sering bersama tetapi berpisah karena orang Yang baru terpapar HIV belum tentu menderita AIDS, hanya saja lama kelamaan system kekebalan tubuhnya makin lama semakin lemah sehingga semua penyakit dapat masuk kedalam tubuh dan orang dalam fase ini artinya sudah masuk dalam kategori menderita AIDS


B. PATOFISIOLOGI
Perjalanan klinis pasien dari tahap terinfeksi HIV sampai tahap AIDS, sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas sesuler dan menunjukkan gambaran penyakit yang kronis. Penurunan imunitas biasanya diikuti adanya peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan ( depkes RI, 2003 ). Dari semua orang yang terinfeksi HIV, sebagian berkembang menjadi AIDS pada tiga tahun pertama, 50% menjadi AIDS sesudah sepuluh tahun, dan hampir 100% pasien HIV menunjukkan gejala AIDS setelah 13 tahun ( sudoyo, 2006 ).
Orang yang terinfeksi HIV seumur hidup akan tetap terinfeksi. Sebagian pasien memperlihatkan gejalah tidak khas infeksi seperti demam, nyeri menelan, pembengkakan kelenjar getah bening, ruam, diare, atau batuk pada tiga sampai enam minggu setelah infeksi ( sudoyo, 2006 ). Kondisi ini dikenal dengan infeksi primer.
Selama infeksi primer jumlah limfosit CD4+ dalam darah menurun dengan cepat. Target virus ini adalah limfosit CD4+ pada nodus limfa dan timus selama waktu tersebut, yang membuat individu yang terinfeksi HIV akan mungkin terkena infeksi oportunistik dan membatasi kemampuan timus untuk memproduksi limfosit T. Tes antibodi HIV menggunakan ensym linked imunoabsorbent assay( ELISA ) yang akan menunjukkan hasil positif ( Calles, N.R, 2000 ). Setelah infeksi akut, dimulailah infeksi HIV asimptomatik ( tanpa gejala ) masa tanpa gejala ini bisa berlangsung selama 8 – 10 tahun. Tetapi ada sekelompok orang yang perjalanan penyakitnya sangat cepat, hanya sekitar 2 tahun, dan ada pula yang perjalanannya sangat lambat. Seiring dengan makin memburuknya kekebalan tubuh, ODHA mulai menampakkan gejala akibat infeksi oportunistik ( penurunan berat badan, demam lama, pembesaran kelenjar getah bening, diare, tuberkulosis, infeksi jamur, herpes, dan lain - lain. ( sudoyo,2006 ). Pada fase ini disebut dengan imunodefisiensi, dalam serum pasien yang terinfeksi HIV ditemukan adanya faktor supresif berupa antibodi terhadap proliferasi sel T.




Pembagian stadium :

1. Stadium pertama : HIV
Infeksi dimulai dengan masuknya HIV dan diikuti terjadinya perubahan serologis ketika antibodi terhadap virus tersebut berubah dari negatif menjadi positif. Rentang waktu sejak HIV masuk kedalam tubuh sampai tes antibodi terhadap HIV menjadi positif disebut window period. Lama window period antara satu sampai tiga bulan, bahka ada yang dapat berlangsung sampai enam bulan .
2. Stadium kedua : asimptomatik ( tanpa gejala )
Asimptomatik berarti bahwa di dalam organ tubuh terdapat HIV tetapi tubuh tidak menunjukkan gejala – gejala. Keadaan ini dapat berlangsung rerata selama 5 sampai 10 tahun. Cairan tubuh pasien HIV/AIDS yang tampak sehat ini sudah dapat menularkan HIV kepada orang lain.
3. Stadium ketiga : pembesaran kelenjar limfe secara menetap dan merata ( persistent generalized lymphadenopathy ), tidak hanya muncul pada satu tempat saja, dan berlangsung lebih satu bulan.
4. Stadium keempat : AIDS
Keadaan ini disertai adanya bermacam – macam penyakit, antara lain penyakit konstitusional, penyakit syaraf, dan penyakit infeksi sekunder.


C. ETIOLOGI

AIDS disebabkan oleh virus HIV yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia.
Ada dua tipe HIV yang dapat menyebabkan AIDS : HIV – 1 dan HIV – 2. HIV – 1 bermutasi lebih cepat dan lebih mematikan karena replikasi lebih cepat. Berbagai macam subtipe dari HIV – 1 telah ditemukan dalm area geografis yang spesifik dan kelompok spesifik risiko tinggi.
Sel yang terinfeksi oleh HIV memiliki waktu hidup sangat pendek, hal ini berarti HIV secara terus – menerus menggunakan sel baru untuk mereplikasi diri, sebanyak 10 milyar virus dihasilkan setiap harinya. Serangan pertama HIV akan tertangkap oleh sel dendrit pada membran mukosa dan kulit pada 24 jam pertama setelah paparan. Sel yang terinfeksi tersebut akan membuat jalur ke nodus limfa dan kadang – kadang ke pembuluh darah perifer selama 5 hari setelah paparan, dimana replikasi virus menjadi semakin cepat.

Siklus hidup HIV dapat dibagi menjadi 5 fase :

a. Proses Masuknya HIV ke dalam Sel
HIV hanya dapat bereplikasi di dalam sel tubuh manusia. Proses ini diawali saat
partikel virus bertemu dengan sel yang memiliki protein spesifik yang dinamakan
CD4. CD4 merupakan reseptor protein yang terdapat di permukaan sel T Helper.
Selaput luar virus HIV kemudian menempel pada reseptor CD4 dengan bantuan
chemokine coreceptor (CCR5) lalu kedua membran tersebut (selaput luar virus
HIV dan membrane sel T Helper) mengalami fusi. Bergabungnya kedua membran
ini mengakibatkan partikel inti virus masuk ke dalam sel T Helper. Selaput virus
HIV yang telah kosong tetap berada di luar permukaan sel T Helper.

b. Reverse Trancription dan Integrasi
Virus memiliki matriks dan kapsid yang meluruh setelah berada di dalam sel T Helper. Setelah meluruh, tinggallah RNA virus dan beberapa enzim yang dibutuhkan dalam proses replikasi selanjutnya. RNA ini kemudian membentuk rantai tunggal DNA dengan bantuan nukleotida sel T Helper oleh enzim reverse trancriptase. Rantai tunggal DNA ini kemudian mengalami proses reverse transcribe menjadi rantai ganda DNA di dalam sel T Helper. Setelah terbentuk rantai ganda DNA, enzim integrase virus mengikat kedua ujung rantai ganda DNA dan membawa partikel ini ke dalam inti nukleus sel T Helper. Di dalam inti sel T helper, enzim integrase kemudian memotong kromosom sel inang dan memasukkan partikel virus ke dalam rangkaian kromosom sel T Helper. Hal ini lah yang mengakibatkan infeksi HIV merupakan suatu penyakit kronis karena partikel virus HIV benar-benar masuk ke dalam rangkaian kromosom sel pada tubuh manusia.
c. Budding dan Maturasi
RNA polymerase lalu datang untuk membentuk RNA messenger. RNA messenger ini kemudian mengkode protein virus HIV lain di ribosom pada permukaan retikulum endoplasma dan membentuk partikel virus lain seperti selaput virus, dll. Rantai messenger RNA yang telah terbentuk tadi merupakan suatu komponen material genetik virus HIV yang lengkap.
Partikel virus baru ini kemudian berpindah ke permukaan sel T helper menunggu protein virus lainnya sebelum memisahkan diri dari sel T helper. Setelah komponen partikel virus lengkap lalu virus baru berpisah dari sel inang. Proses ini dinamakan budding.
Virus yang telah terlepas ini belum matur. Partikel virus yang terbentuk seringkali masih dalam bentuk rantai yang panjang dan belum bisa berfungsi dengan baik. Enzim protease kemudian memotong rangkaian rantai multiprotein ini menjadi beberapa rangkaian rantai protein yang matur. Setelah proses ini selesai, maka terbentuklah suatu virus HIV baru yang matur yang dapat menginfeksi sel T helper lainnya.
Proses siklus hidup virus HIV ini berlangsung terus menerus. Semakin lama semakin banyak sel T helper yang terinfeksi dan rusak dan semakin sedikit pula sel T helper yang baik. Semakin sedikit sel T helper, dan semakin tingginya partikel virus HIV di dalam tubuh, maka semakin banyak pula gejala-gejala infeksi dan keganasan yang muncul pada individu tersebut. Pada saat jumlah sel CD4+ individu di bawah 200 sel/mm3, maka dikatakan individu tersebut menderita AIDS dan sangat membutuhkan obat antiretroviral segera.

D. MANIFESTASI KLINIS
Tanda-tanda gejala-gejala (symptom) secara klinis pada seseorang penderita AIDS sulit diidentifikasi karena symptomasi yang ditunjukan pada umumnya adalah bermula dari gejala-gejala umum yang lazim didapati pada berbagai Penderita penyakit lain, namun secara umum dapat dikemukakan sebagai berikut :
a. Rasa lelah dan lesu
b. Berat badan menurun secara drastis
c. Demam yang sering dan berkeringat diwaktu malam
d. Mencret dan kurang nafsu makan
e. Bercak-bercak putih di lidah dan di dalam mulut
f. Pembengkakan leher dan lipatan paha
g. Radang paru
h. Kanker kulit
i. Batuk menetap > satu bulan






Manifestasi klinik utama dari penderita AIDS pada umumnya ada 2 hal antara lain tumor dan infeksi oportunistik :
a. Manifestasi tumor diantaranya;
1) Sarkoma kaposi ; kanker pada semua bagian kulit dan organ tubuh. Frekuensi
kejadiannya 36-50% biasanya terjadi pada kelompok homoseksual, dan jarang
terjadi pada heteroseksual serta jarang menjadi sebab kematian primer.
2) Limfoma ganas ; terjadi setelah sarkoma kaposi dan menyerang syaraf, dan
bertahan kurang lebih 1 tahun.

b. Manifestasi Oportunistik diantaranya
1) Manifestasi pada Paru
a) Pneumonia Pneumocystis (PCP)
Pada umumnya 85% infeksi oportunistik pada AIDS merupakan infeksi paru
PCP dengan gejala sesak nafas, batuk kering, sakit bernafas dalam dan
demam.
b) Cytomegalo Virus (CMV)
Pada manusia virus ini 50% hidup sebagai komensial pada paru-paru tetapi
dapat menyebabkan pneumocystis. CMV merupakan penyebab kematian
pada 30% penderita AIDS.
c) Mycobacterium Avilum
Menimbulkan pneumoni difus, timbul pada stadium akhir dan sulit
disembuhkan.
d) Mycobacterium Tuberculosis
Biasanya timbul lebih dini, penyakit cepat menjadi miliar dan cepat menyebar
ke organ lain diluar paru.

2) Manifestasi pada Gastrointestinal
Tidak ada nafsu makan, diare khronis, berat badan turun lebih 10% per bulan.


Penularan HIV/AIDS, yaitu :
Virus HIV menular melalui enam carah penularan :
1. Hubungan seksual dengan pengidap HIV/AIDS.
Hubungan seksual secara vaginal, anal, dan oral dengan penderita HIV tanpa perlindungan bisa menularkan HIV. Selama hubungan seksual berlangsung, air mani, cairan vagina dan darah yang mengenai selaput lendir vagina, penis, dubur, atau mulut sehingga HIV yang terdapa dalam cairan tersebut masuk kealiran darah ( PELKESI, 1995 ). Selama berhubungan juga bisa terjadi lesi mikro pada dinding vagina, dubur, dan mulut yang bisa menjadi jalan HIV untuk masuk ke aliran darah pasangan seksual ( syaiful,2000 ).

2. Ibu pada bayinya.
Penularan HIV dari ibu bisa terjadi pada saat kehamilan ( in utero ). Berdasarkan laporan CDC America, prevalensi penularan HIV dari ibu ke bayi adalah 0,01 % sampai 0,7 %. Bila ibu baru terinfeksi HIV dan belum ada gejala AIDS, kemungkinan bayi terinfeksi sebanyak 20 % sampai 35 %, sedangkan kalau gejala AIDS sudah jelas pada ibu kemungkinannya mencapai 50 %
( PELKESI,1995 ). Penularan juga terjadi selama proses persalinan melalui transfusi fetomaternal atau ontak antara kulit atau membran mukosa bayi dengan darah atau sekresi maternal saat melahirkan ( lily V, 2004 ). Semakin lama proses melahirkan, semakin besar resiko penularan. Oleh karena itu, lama persalinan bisa di persingkat dengan operasi sectio caesaria ( HIS dan STB, 2000 ). Resiko lain terjadi selama periode post partum melalui ASI. Resiko bayi tertular melalui ASI dari ibu yang positif sekitar 10 % ( lily V, 2004 ).

3. Darah dan produk darah yang tercemar HIV/AIDS
Sangat cepat menularkan HIV karena virus langsung masuk ke pembuluh darah dan menyebar ke seluruh tubuh.

4. Pemakaian alat kesehatan yang tidak steril
Alat pemeriksaan kandungan seperti spekulum, tenakulum, dan alat- alat lain yang menyentuh darah, cairan vagina atau air mani yang terinfeksi HIV, dan langsung digunakan untuk orang lain yang tidak terinfeksi bisa menularkan HIV (PELKESI, 1995).

5. Alat- alat untuk menoreh kulit.
Alat tajam dan runcing seperti jarum, pisau, silet, menyunat seseorang, membuat tato, memotong rambut, dan sebagainya bisa menularkan HIV sebab alat tersebut mungkin dipakai tanpa disterilkan terlebih dahulu.

6. Menggunakan jarum suntik secara bergantian
Jarum suntik yang digunakan difasilitas kesehatan, maupun yang digunakan oleh pengguna narkoba sangat berpontensi menularkan HIV.

HIV tidak menular melalui peralatan makan, pakaian, handuk, sapu tangan, toilet yang dipakai secara bersama-sama, berpelukan di pipi, berjabat tangan, tinggal serumah dengan penderita, gigitan nyamuk, dan hubungan sosial yang lain.


E. PEMERIKSAAN PENUNJANG

a. ELISA (Enzyme-Linked ImmunoSorbent Assay) adalah metode yang digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 98,1-100%. Biasanya tes ini memberikan hasil positif 2-3 bulan setelah infeksi.
b. WESTERN blot adalah metode yang digunakan menegakkan diagnosis HIV dengan sensitivitasnya yang tinggi yaitu sebesar 99,6-100%. Pemeriksaanya cukup sulit, mahal, dan membutuhkan waktu sekitar 24 jam.
c. PCR (polymerase Chain Reaction), digunakan untuk :
~ Tes HIV pada bayi, karena zat antimaternal masih ada pada bayi yang dapat menghambat pemeriksaan secara serologis. Seorang ibu yan menderita HIV akan membentuk zat kekebalan untuk melawan penyakit tersebut. Zat kekebalan itulah yang diturunkan pada bayi melalui plasenta yang akan mengaburkan hasil pemeriksaan, seolah-olah sudah ada infeksi pada bayi tersebut. (catatan : HIV sering merupakan deteksi dari zat anti-HIV bukan HIV-nya sendiri).
~ Menetapakan status infeksi individu yang seronegatif pada kelompok
berisiko tinggi.
~ Tes pada kelompok berisiko tinggi sebelum terjadi serokonversi.
~ Tes konfirmasi untuk HIV-2, sebab ELISA mempunyai sensitivitas rendah
untuk HIV-2.


F. KOMPLIKASI
1. Oral Lesi.
Karena kandidia, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral, gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat.





2. Neurologik.
a. kompleks dimensia AIDS karena serangan langsung Human Immunodeficiency Virus (HIV) pada sel saraf, berefek perubahan kepribadian, kerusakan kemampuan motorik, kelemahan, disfasia, dan isolasi social.
b. Enselophaty akut, karena reaksi terapeutik, hipoksia, hipoglikemia, ketidakseimbangan elektrolit, meningitis / ensefalitis. Dengan efek : sakit kepala, malaise, demam, paralise, total / parsial.
c. Infark serebral kornea sifilis meningovaskuler,hipotensi sistemik, dan maranik endokarditis.
d. Neuropati karena imflamasi demielinasi oleh serangan Human Immunodeficienci Virus (HIV).

3. Gastrointestinal.
a. Diare karena bakteri dan virus, pertumbuhan cepat flora normal, limpoma, dan sarcoma Kaposi. Dengan efek, penurunan berat badan,anoreksia,demam,malabsorbsi, dan dehidrasi.
b. Hepatitis karena bakteri dan virus, limpoma,sarcoma Kaposi, obat illegal, alkoholik. Dengan anoreksia, mual muntah, nyeri abdomen, ikterik,demam atritis.
c. Penyakit Anorektal karena abses dan fistula, ulkus dan inflamasi perianal yang sebagai akibat infeksi, dengan efek inflamasi sulit dan sakit, nyeri rectal, gatal-gatal dan siare.

4. Respirasi
Infeksi karena Pneumocystic Carinii, cytomegalovirus, virus influenza, pneumococcus, dan strongyloides dengan efek nafas pendek ,batuk, nyeri, hipoksia, keletihan, dan gagal nafas.
5. Dermatologik
Lesi kulit stafilokokus : virus herpes simpleks dan zoster, dermatitis karena xerosis, reaksi otot, lesi scabies/tuma, dan dekobitus dengan efek nyeri,gatal,rasa terbakar,infeksi skunder dan sepsis.
6. Sensorik
• Pandangan: Sarkoma Kaposi pada konjungtiva berefek kebutaan
•Pendengaran : otitis eksternal akut dan otitis media, kehilangan pendengaran
dengan efek nyeri.


G. PENATALAKSANAAN.
Belum ada penyembuhan untuk AIDS, jadi perlu dilakukan pencegahan Human Immunodeficiency Virus (HIV) untuk mencegah terpajannya Human Immunodeficiency Virus (HIV), bisa dilakukan dengan :
1. Melakukan abstinensi seks / melakukan hubungan kelamin dengan pasangan
yang tidak terinfeksi.
2. Memeriksa adanya virus paling lambat 6 bulan setelah hubungan seks terakhir
yang tidak terlindungi.
3. Menggunakan pelindung jika berhubungan dengan orang yang tidak jelas status
Human Immunodeficiency Virus (HIV) nya.
4. Tidak bertukar jarum suntik,jarum tato, dan sebagainya.
5. Mencegah infeksi kejanin / bayi baru lahir.

Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka pengendaliannya yaitu :
1. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan, mengendalikan, dan pemulihan infeksi opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien dilingkungan perawatan kritis.

2. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3

3. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system imun dengan menghambat replikasi virus / memutuskan rantai reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah :
a. Didanosine
b. Ribavirin
c. Diedoxycytidine
d. Recombinant CD 4 dapat larut

4. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi AIDS.
a. Pendidikan untuk menghindari alcohol dan obat terlarang, makan-makanan sehat,hindari stress,gizi yang kurang,alcohol dan obat-obatan yang mengganggu fungsi imun.
b. Menghindari infeksi lain, karena infeksi itu dapat mengaktifkan sel T dan mempercepat reflikasi Human Immunodeficiency Virus (HIV).



























ASKEP PASIEN TERINFEKSI HIV/AIDS

A. Pengkajian dan masalah keperawatan.
Perjalanan pasien dari tahap terinfeksi sampai dengan tahap AIDS sejalan dengan penurunan derajat imunitas pasien, terutama imunitas seluler. Penurunan imunitas biasanya diikuti dengan adanya peningkatan resiko dan derajat keparahan infeksi oportunistik serta penyakit keganasan.




Masalah fisik
Masalah psikis
Masalah sosial Masalah
ketergantungan

1. Sistem pernapasan : dispnea,TBC,dan pneumonia.
2. Sistem pencernaan : Nausea-Vomiting, diare, dysphagia, BB turun 10%/bln.
3. Sistem persarafan : letargi, nyeri sendi, dan encepalopathy.
4. Sistem integumen : edema yang disebabkan kaposis sarcoma, lesi di kulit atau mukosa dan alergi.
5. Lain-lain : demam dan resiko menularkan.
1. Integritas ego : perasaan tidak berdaya/putus asa.
2. Faktor stres : baru/lama.
3. Respons psikologis : menyangkal, marah, cemas dan mudah tersinggung.
1. Perasaan minde dan tidak berguna di masyarakat.
2. Interaksi sosial : perasaan terisolasi/ditolak.
1. perasaan membutuhkan pertolongan orang lain.



B. Diagnosis keperawatan pada pasien HIV/AIDS.

Pada pasien dengan HIV/AIDS, bisa ditemuan beberapa diagnosis keperawatan dan masalah kolaboratif, antara lain :
1. Risiko komplikasi/infeksi sekunder.
2. Wasting syndrome, sarkoma kaposi dan limfoma.
3. Meningitis, infeksi oportunistik ( misalnya : kandidiasis, sitomegalovirus, herpes, pneumocytis carinii pneumonia ).

Berdasarkan NANDA, diagnosis keperawatan yang mungkin ditemukan pada pasien HIV/AIDS antara lain :

1. Intoleransi aktivitas b/d kelelahan, efek samping obat, demam, malnutrisi.
2. Bersihan jalan napas tidak efektif b/d infeksi respirasi, keganasan paru dan pneumotoraks.
3. Kecemasan b/d prognosis yang tidak jelas, persepsi tentang efek penyakit.
4. Gangguan gambaran diri b/d penyakit kronis, alopesia, penurunan berat badan dan gangguan seksual.
5. Konfusi ( akut/kronis ) b/d infeksi susunan saraf pusat, infeksi sitomegalovirus, limfoma dan perkembangan HIV.
6. Diare b/d pengobatan, diet, dan infeksi.
7. Kurangnya aktivitas pengalihan b/d lamanya pengobatan medis di rumah sakit, bed rest yang lama.
8. Kelelahan b/d proses penyakit serta kebutuhan psikologis dan emosional yang sangat banyak.
9. Takut b/d ketidakberdayaan , ancaman kesejahteraan diri sendiri.
10. Volume cairan berkurang b/d asupan cairan yang tidak adekuat.
11. Risiko infeksi b/d imunodefisiensi seluler.
12. Risiko injuri b/d kelelahan, kelemahan, perubahan kognitif, ensefalopati, dan perubahan neuromuskular.
13. Nyeri akut b/d perkembangan penyakit, efek samping pengobatan, odem limfe, sakt kepala danmialgia parah.
14. Harga diri rendah b/d penyakit kronis dan krisis situasional.
15. Kerusakan integritas kulit b/d kehilangan otot dan jaringan sekunder.
16. Perubahan pola tidur b/d nyeri, berkeringat di malam hari, depresi.
17. Isolasi sosial b/d ketakutan orang lain terhadap penyebaran infeksi.

C. Intervensi keperawatan pada pasien HIV/AIDS.

Ada dua hal penting yang harus diperhatikan perawat, yaitu :
1. Memfasilitasi strategi koping :
 Fasilitasi sumber penggunaan potensi diri agar terjadi respon penerimaan sesuai tahapan dari KUBLER-ROSS.
 Tekik kognitif, dapat berupa upaya untuk membantu penyelesaian masalah, memberikan harapan yang realistis dan mengingatkan pasien agar pandai mengambil hikmah.
 Teknik perilaku, dilakukan dengan carah mengajarkan perilaku yang mendukung kesembuhan, seperti kontrol dan minum obat teratur, konsumsi nutrisi seimbang, istirahat dak aktivitas teratur dan menghindari konsumsi atau tindakan yang dapat menambah parah sakit.

2. Dukungan sosial :
 Dukungan emosional, agar pasien merasa nyaman, dihargai, dicintai dan diperhatikan.
 Dukungan informasi, untuk meningkatka pengetahuan dan penerimaan pasien terhadap sakitnya.
 Dukungan material, untuk bantuan atau kemudahan akses dalam pelayanan kesehatan pasien.


Aspek perawatan fisik, meliputih :

a. Universal precautions
Penerapan universal precautions oleh perawat, keluarga dan pasien sendiri sangat penting hal ini di tujukan untuk mencegah terjadinya penularan HIV. Prinsip-prinsipnya ;
 Hindari kontak langsung dengan cairan tubuh.
 Cuci tangan sebelum dan sesudah melakukan tindakan.
 Dekontaminasi cairan tubuh pasien
 Sterilisasi semua alat kedokteran yang di pakai



b. Pemberian ARV ( antiretroviral )
Penggunaan ARV kombinasi lebih efektif karena mempunyai khasiat ARV yang lebih tinggi dan menurunkan viral load lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan satu obat saja.
c. Pemberian Nutrisi.
Pasien dengan HIV/AIDS sangat membutuhkan vitamin dan mineral dalam jumlah yang lebih banyak dari yang biasanya. Sebagian ODHA akan mengalami defisiensi vitamin sehingga memerlukan makanan tambahan.

d. Aktivitas dan istirahat.
Oahraga yang dilakukan dengan teratur menghasilkan perubahan pada jaringan, sel, dan protein pada sistem imun.


Aspek psikologis, meliputih :

a. Membantu pasien mengidentifikasi masalah dan seberapa jauh dia dapat mengontrol diri.
b. Meningkatkan perilaku menyelesaikan masalah.
c. Membantu meningkatkan rasa percaya diri, bahwa pasien akan mendapatkan hasil yang lebih baik.
d. Memberi kesempatan kepada pasien untuk mengambil keputusan terhadap dirinya.
e. Mengidentifikasi sumber-sumber pribadi dan lingkungan yang dapat meningkatkan kontrol diri : keyakinan, agama.


Aspek sosial, meliputih :

a. Beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaan.
b. Menegaskan tentang pentingnya pasien bagi orang lain.
c. Mendorong agar pasien mengungkapkan perasaan negatif.
d. Memberi umpak balik terhadap perilakunya.
e. Memberi rasa percaya dan keyakinan.
f. Memberi informasi yang di perluhkan.
g. Berperan sebagai advokat.
h. Memberi dukungan : moral, material ( khususnya keluarga ), dan spiritual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar